Penyakit Lama "Book Shaming", Kenali Ciri Pelakunya

Sumber: www.pexels.com




Pengertian Book Shaming
Book Shaming adalah istilah yang baru-baru ini aku tahu melalui penulis hebat Fiersa Besari dan juga cuitan Instagram Patjarmerah_id yang kerap mengampanyekan “Stop Book Shaming”. Book Shaming sendiri adalah kondisi dimana seseorang menyudutkan orang lain atas apa yang menjadi selera atau pilihan bacaan favorit mereka. Biasanya mereka yang kerap melakukan Book Shaming bertindak seakan apa yang ia baca menjadi pilihan yang paling benar, dan sangat sulit bagi mereka untuk menerima fakta bahwa orang lain memiliki selera bacaan yang berbeda dengan mereka. Tindakan dari Book Shaming itu sendiri berakibat fatal bagi mereka para korban. Mengapa demikian, karena mereka para korban tidak bisa merasakan kemerdekaan terhadap apa yang mereka baca, terhadap apa yang mereka pilih dan gemari. Bahkan mereka bisa menjadi minder membaca didepan umum, atau mungkin harus mengganti sampul buku mereka alih-alih agar orang lain tidak tahu apa yang sedang mereka baca. Hal yang paling buruk ialah membuat orang lain berhenti membaca buku karena menerima perlakuan Book Shaming.



Pernah nggak Patjarboekoe malu mengakui suka membaca jenis-jenis buku tertentu? Merasa yang dibaca terlalu 'receh', jenis yang 'guilty pleasure', dan atau tanpa sadar juga menganggap apa yang dibaca orang lain kurang penting? Berhentilah 'diam-diam' merasa bersalah karena menyukai buku yang dianggap oleh sebagian orang kurang 'sastra' atau nggak penting. Membaca buku apa pun adalah baik dan menghargai apa yang menjadi pilihan bacaan orang lain pun adalah bentuk keadilan dalam berpikir. Bacalah buku yang kamu sukai, yang membuatmu senang. Buku, selain menjadikan pembacanya lebih pintar, memang juga diciptakan untuk menghibur--tertawa terbahak-bahak, senyum-senyum kecil karena baper, ataupun menangis hingga beringus. ㅤㅤ Hanya karena seseorang lebih memilih membaca karya-karya Chairil Anwar, sementara yang lain membaca Fiersa Besari; atau memilih membaca Eka Kurniawan, bukan novel-novel pop berlatar kpop, tidak lantas menjadikan satu orang tersebut lebih 'pembaca' dari yang lain. ㅤㅤ Semua buku penting untuk dibaca. Bacalah apa yang ingin kamu baca tanpa perlu malu atau cemas dengan penilaian orang lain. Stop #bookshaming dan nikmatilah kesenangan membaca buku, apa pun! #patjarmerahid
Sebuah kiriman dibagikan oleh patjarmerah (@patjarmerah_id) pada


Korban Book Shaming
Mengapa aku bisa mengatakan korban bisa saja berhenti membaca karena Book Shaming, karena aku adalah salah satu diantara mereka yang menjadi korban atas tindakan tersebut. Kondisi tersudutkan yang mendatangkan perasaan malu dan akhirnya membenarkan apa yang dikatakan si pelaku, meninggalkan kepercayaan diri dan akhirnya melepaskan sebuah hobi sendiri. Kembali mengupas masa lalu, dulu aku adalah anak kecil yang gemar membaca majalah anak seperti BOBO, INA, INO dan lain semacamnya. Kegemaranku itu dimulai sejak aku SD seingatku ketika kelas 3 SD berlanjut sampai dengan SMP (kelasnya aku lupa karena lama sekali). Pada masa itu setiap minggu sudah kewajiban untuk selalu membeli majalah tersebut, karena memang seasyik itu membacanya. Bahasa yang mereka pakai benar-benar sangat mudah dipahami karena memang sasaran pembaca mereka adalah anak-anak. Mereka mampu membangkitkan pikiran imajinatif aku mengenai cerita Nirmala, Paman Gembul, Bona & Rong-Rong dan lainnya. Dan terdapat konten Teka-Teki Silang didalamnya yang aku gemari, yah walaupun tidak pernah tuntas mengerjakannya. Pokoknya pikiran positif melulu karena membaca itu semua. Ternyata hobi itu benar-benar berlanjut sampai dengan SMP yang sebenarnya aku merasa normal-normal saja karena masih membaca majalah itu. Tapi akhirnya hobi itu aku tinggalkan karena mendengar perkataan yang agak nyentil perasaanku  tempo dulu.
“Eh kamu nggak malu baca majalah anak terus, inget umur coba ganti selera bacaanmu. Tuh coba baca majalah lain…..” dan bla bla bla

Fantasi 2002-ini bukan iklan wahai netizen
Wah mendengar itu aku yang masih anak SMP terus mikir donk, “Eh masak iya apa yang aku baca ini salah, aku normal kan?!”, terus aku bergelut dengan pikiran ku sendiri terus mencari pembenaran dan akhirnya aku tidak mendapatkannya, keputusan terakhir membawaku kepada keputusan berhenti membaca majalah tersebut. Tidak hanya sebatas itu pengalamanku, berbekal pengalaman dicibir karena selera bacaan membuatku terus hati-hati membaca didepan umum. Dulu aku juga sempat menjadi pembaca buku “Kudeta Sang Marabunta”, sebuah novel bergenre action namun ada sentuhan religius, dan "Detective Conan" novel yang membuat otak ku mikir keras. Tapi hobi itu aku jalani secara diam-diam. Aku menjadi orang yang akhirnya menghabiskan waktu dikamar untuk melahap buku-buku itu. Hal terparah adalah ketika ditanya rekomendasi buku aku tidak bisa jujur mengatakannya, yah karena takut diremehkan, takut dicibir, takut apa yang menjadi kesukaanku ternyata dipandang aneh oleh orang lain, hanya karena sebuah umur.

Ciri –Ciri Pelaku Book Shaming
Setelah berbagi kisah ku pada tempo dulu, kurang asyik rasanya bila tidak memberikan ciri-ciri apabila kalian telah melakukan Book Shaming. Karena bisa jadi dikehidupan sehari-hari kita justru kerap melakukan hal itu karena ketidak tahuan kita. Setelah mengetahui ini jangan sampai sembunyi beralasan tidak tahu dan terus melakukan Book Shaming. Ada tiga poin yang menjadi  ciri-ciri kalian melakukan Book Shaming, yaitu:

1. Memandang rendah genre buku lain yang tidak masuk dalam kamus hidup mu
Misalkan si A menyukai buku dengan genre Romance
Lalu si B menyukai buku berbau Politik, Saintis dan Kesehatan
Kemudia si B mengejek si A karena pilihan bacaannya yang terlalu melow

“Yaelah masih aja lu baca novel romantis, nggak ada gunanya”

Kalimat ejekan diatas hanya beberapa contoh dari Book Shaming, aku rasa banyak diantara kita tanpa sengaja ataupun dengan sengaja mengatakan hal tersebut. Dengan merendahkan bacaan orang lain lalu menghinanya itu ternyata bagian dari Book Shaming. Tanpa disadari kita berubah mendewakan satu genre buku, menganggap buku genre lain adalah kelas bawah.
Bagaimana baru no. 1 nih semoga kalian belum merasa menjadi pelaku Book Shaming. Kita lanjutkan! 

2. Membandingkan Karya Penulis 
Ada anggapan bahwa karya pendahulu itu makna nya lebih baik ketimbang karya penulis zaman sekarang. Dibuat lebih pakai hati perasaan yang tulus seperti PAC*** :D lebih berkualitas lah pokoknya. Nah dari anggapan seperti inilah yang menjadikan Book Shaming lahir. Buku adalah sebuah karya seni bagi aku, bagaimana sebuah ide berubah menjadi kumpulan kata-kata yang memberikan kita pengetahuan. Ada seni terlahir dari proses itu. Proses dimana penulis mengungkapkan apa yang ada dipikirannya lalu mencoba memasuki pikiran para pembaca dan menilai apakah ini layak untuk diterima. Dari sini saja butuh proses yang panjang, lalu bagaimana bisa kita mengukur sebuah buku baik tidaknya berdasarkan siapa pembuatnya. Semua penulis toh memiliki caranya masing-masing bagaimana menyampaikan ceritanya, masing-masing dari kita pun memiliki pilihan bacaan yang berbeda.  Jangan justru ini menjadi ajang gengsi kita. Apabila kalian masih ada pada anggapan ini, berhentilah! Ini menjadi tanda ketidakdewasaan kalian menerima ketidaksamaan.

3. Mengkotak-kotakkan pembaca
Seperti yang terjadi di kisahku dulu, aku dianggap tidak cocok membaca majalah anak dengan status aku yang masih duduk di bangku SMP. Padahal itu normal sekali. Bagi kalian yang suka mengkotak-kotakkan pembaca berdasarkan gender, usia, genre please stop! coba dari kita masing-masing open minded terhadap masalah ini. Tidak apa-apa kok anak sastra juga membaca buku kesehatan, tidak apa-apa kok anak SMA membaca buku panas dinginnya perpolitikan. Tidak apa-apa kita yang sudah besar ini membaca buku anak-anak. Bukankah akan lebih baik jika kita tahu banyak hal?

Dari ketiga ciri diatas semoga kalian tidak merasa ya sebagai pelaku, kalaupun merasa pernah melakukan itu ya berhenti. Tidak ada cara lain, semua orang berhak memilih buku bacaan yang dipilih asalnya berlandaskan dengan kebenaran dan kesesuaian. Jangan saja masih anak-anak membaca hal yang tak pantas atau membaca yang belum umurnya. Dari apa yang aku tulis ini, aku jadi punya anggapan bahwa wajar saja minat baca Indonesia rendah, lha wong kita baca saja masih dikomentari. Menentukan pilihan apa yang kita baca saja kita tidak berani. Semoga kita bisa saling menghargai apapun pilihan orang lain, mereka manusia sama seperti kita yang berhak memilih bacaannya sesuai seleranya. Jangan sampai kehadiran kita justru membuat orang lain merasa tidak nyaman. Sesama pembaca masak iya tidak ada toleransi? tidak ada menghargai? masak pasanganmu terus yang kamu istimewakan :D oh ya bagi kalian yang menjadi korban Book Shaming lebih beranilah untuk bicara jangan seperti aku yang dulu malah lari dari hobi. Beritahu mereka kalau tindakan mereka itu salah atau bisa kalian rekomendasi tulisan aku ini hehehe.

Oh iya beberapa hari lalu aku membeli tabloid Fantasi bukan edisi terbaru melainkan edisi 453 minggu keempat Agustus 2002. Memang jadul tapi itu membangkitkan semangatku untuk membaca kembali. Pikiranku seperti dibawa kembali dimasa lalu. Untuk kalian yang semangat membacanya sama seperti aku turun naik, bisa dicoba deh kembali menelusuri apa sebenarnya bacaan yang kamu sukai, yang itu bisa membuatmu sampai lupa waktu. Rasanya sudahi ya cuap-cuap ku ini, semoga masuk kehati kalian dan bisa dibagikan keteman-teman yang lain. Kalian juga bisa lho berbagi pengalaman apakah pernah menjadi korban Book Shaming dan berbagi tips bagaimana kalian menghadapinya.
Terimakasih waktunya untuk membaca. By by….







Komentar

Postingan Populer